Minggu, 08 Maret 2009

Utopianisme Perancangan Kota

Bayangan kehidupan masa depan "sorgawi" yang merupakan dambaan khayal manusia, dalam sejarah telah banyak digambarkan baik melalui karya-karya komik fiksi ala "Flash Gordon", buku-buku karangan Jules Verne, idea-idea dari Thomas More dan karya-karya lain, kesemuanya merupakan sumbangan perbendaharaan budaya "khayal" manusia. Setelah revolusi industri predikat "kaum penghayal" hancur dan mulailah lahir kaum "utopia urban". Utopia telah menjadi "gaya tersendiri" dan membuktikan diri sebagai alat yang "ampuh" untuk menyerang tata sosial politik pada masa itu. Pada abad 19, Samuel Butler mengemukakan bahwa tugas utopia adalah menciptakan peluang bagi berbagai "hal yang mungkin" guna melawan sikap "pasif' dan "nrima" keadaan aktual masa kini. Utopia merupakan pemikiran simbolis yang mengatasi kelembaman kodrati manusia dan memberi manusia kemampuan baru, yakni kemampuan untuk terus menerus membangun "dunianya"

Utopia dapat diarikan sebagai ide tentang masyarakat idaman/ khayalan/ impian ("a Place or State of Ideal Perfection"), beberapa tokoh utopian urban antara lain; Andre Blowers (The Future of Cities), Sir Thomas More (1478-1535) dengan bukunya "utopia", Claude Nicholas Ledoux (173~1806) dengan karyanya Kota Industri Garam di Chaux. Charles Fourier (1772-1837) dengan "Phalanstere" nya, Tony Garnier (1869) arsitek Prancis yang memenangkan hadiah arsitektur prestisius, Ebeneser Howard (1850- 1928) dengan Garden City, Francois Dallegret's (1963) dengan space city/ Astronef 732, Paulo Solery (1969) dengan bukunya Acrologi The City in the Image of Man (yang memuat lebih dari 30 desain utopia urban termasuk di dalamnya "Hexahedron") dan lain~lain termasuk Frank Lloyd Wright dan Le Corbusier yang memperkenalkan utopian urban abad 20 dengan mempergunakan kemajuan teknologi dan ledakan urbanisasi sebagai generator ponsialnya.

Manusia mempunyai kecenderungan tertarik pada upaya pengelolaan lingkungan, selalu berupaya merubah, mencipta dan membangun lingkungan sesuai dengan kebutuhan hidup masakini dan untuk masa yang akan datang. Proses pengelolaan lirigkungan ini berlangsung sepanjang zaman yang didorong oleh upaya memperbaiki keadaan kehidupan yang dihadapi sekarang guna mencapai kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan. Pemikiran ramalan kehidupan masyarakat masa depan oleh kaum "utopis" telah banyak membantu mempengaruhi perjuangan manusia dalam mencapai kehidupan masyarakat secara "totalitas". "Kaum utopis" sebagian besar adalah manusia-manusia "idealis-humanis" yang aktif mencari "respon" alternatif terhadap masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, dengan meramalkan kehadiran suatu bentuk masyarakat impian yang "bebas masalah". Impian kaum utopis ini muncul pada saat subyektifitas obyektifitas kondisi sosial tidak memungkinkan terjadinya perubahan sosial yang berarti.


"Paham" utopial Utopianisme sebetulya ada dua "aliran"; "Social Utopia", mengungkapkan konsep utopia secra verbal yang berusaha merumuskan pemecahan masalah sosial masyarakat tanpa menyinggung masalah lingkungan hidup fisik dan tata ruang (arsitektur). Para utopis sosial percaya bahwa manusia akan bahagia melalui upaya perubahan struktur dan norma-norma kehidupan sosial. Salah satu tokoh utopian sosial adalah Sir Thomas More (1478-1535), dalami bukunya "Utopia" yang ditulis pada tahun 1516, ia melontarkan gagasan untuk mengatasi penderitaan masyarakat pada permulaan era 'Gilda', masyarakat dikhayalkan sebagai masyarakat yang bebas persaingan dan tanpa kelas, dimana desa-desa tersebar di pinggiran kota memperoleh pemerataan distribusi barang dan pemerataan kesempatan diantara anggota masyarakat.

"Physical Utopia", merupakan pendekatan fisik yang lebih menekankan rumusan utopianya pada pengolahan fisik tata ruang tanpa menyinggung kompleksitas kehidupan sosial, disini diungkapkan proyeksi kehidupan masa depan melalui upaya rancang bangun dan pengolahan tata ruang dalam (arstektur). Kaum utopis fisik berpendapat bahwasanya melalui perubahan dan pembangunan lingkungan fisik serta pengolahan tata ruang yang baik, efisien dan indah, manusia akan menjadi bahagia, hidup lebih baik, teratur, sehat dan sejahtera. Salah satu contoh bentuk utopia fisik misalnya "Walking City", kota super efisien dengan semua unit elemen kota bergerak melayani manusia (oleh Archigram Group, 1960).

Revolusi industri juga berpengaruh pada "utopianisme", para utopis sosial mengalami "kemandegan", sebaliknya para utopis fisik makin menjadi, dengan mengungkapkan konsep-konsep yang spekulatif yang memperkenalkan produk-produk utopis yang memanfaatkan kenujuan teknologi. Di sini dimulai pendekatan "teknoktratik" yang meletakkan kemampuan pikiran manusia dan teknologi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Teknologi dianggap berkemampuan tak terbatas dalam melayani segala kebutuhan manusia, di sini terlihat bahwasanya "kota" identik dengan mesin yang rumit pralatannya yang herfimgsi melayani kebutuhan manusia.

Inovasi-inovasi sebagai hasil industri semakin memacu para utopian untuk dengan antusias memperjuangkan tercapainya masyarakat totalitas, yang menyebabkan pemikiran utopia berkembang menjadi pendekatan "jalan pintas" bagi pemecahan masalah-masalah sosial. Pada era ini masalah-masalah sosial, perkembangan budaya mernjadi "terabaikan" dengan tenggelam pada keangkuhan teknologi. Sementara itu utopis sosial yang berpaham "idealis-humanis" yang bereaksi lebih positif, yakni memperjuangkan cita-cita masyarakat adil-makmur melalui konsep "verbal" menjadi semakin langka dan tenggelam.

"Gema" kaum utopis dengan karya-karyanya terutama konsep-konsep utopis urban telah banyak memberikan sumbangan yang positif bagi perkembangan lingkungan binaan (Arsitektur). Gema dari konsep utopis telah "merambah" ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia, yang dibawa Belanda pada zaman kolonial (Thomas Karsten). Pada periode 1900-1942 Thomas Karsten menerapkan konsep "Garden City" pada beberapa kota seperti Bandung, Malang, Bogor dan sebagainya.

Pola pikir utopia sebenarnya tidak boleh kita remehkan, bahkan harus kita perhatikan sebagai suatu hasil pemikiran yang murni dan muncul dari suatu keinginan yang benar-benar mendambakan suatu keadan yang ideal. Banyak hasil-hasil pemikiran kaum utopian pada saat ini menjadi kenyataan seperti keinginan hidup di angkasa luar yang "bebas" kehidupan. Dari kenyataan ini jelas bahwa dari pernikiran kaum utopian ini menjadi tantangan bagi para ilmuwan untuk merealisasikan angan-angan yang "mungkin" bisa diwujudkan.

Dalam dunia Arsitektur mengkhayalkan sesuatu yang akan dibuat merupakan suatu hal yang harus dilakukan, mengingat dimensi spatial arsitektur menuntut pemahaman keruangan yang akan berhasil melalui "rekayasa" penghayalan idea (pencetusan idea). Hal ii diperlukan mengingat dalam perancangan lingkuugan binaan (arsitektur) dituntut sesuatu yang berbeda (baca: bukan duplikasi) dari hasil rancangan yang telah ada sebelumnya.

Semoga ulasan ini membawa manfaat bagi kebiasaan penghayalan idea dalam mendisain lingkuugan binaan, yang perlu diperhatikan budaya menghayal ini harus konstruktif dalam arti positif sehingga kita tidak terbawa arus untuk dikuasai oleh alam khayal kita (agar tidak kebablasen?)